Kungfu Panda dan Diri Sendiri

Aku pernah membaca disalah satu majalah ternama perfilman yang mengatakan bahwa ciri-ciri film yang kurang bagus, rating rendah, barangkali boleh kubilang jelek, adalah thriller yang terlalu "vulgar": memberitahukan garis besar dari jalan cerita film tersebut, karena menandakan si pembuatnya kurang percaya diri dengan filmnya. Kurang lebih begitulah pernyataannya. Ingatku. (linknya kucari gak nemu) :D

Karena itu, kukira Kungfu Panda III akan masuk dalam kategori tersebut (film jelek). Mengingat trailernya yang terlalu "vulgar". Memberitahukan ke penonton garis besar ceritanya. Tapi ternyata mereka salah. Menurutku.

Memang jalan cerita Kungfu Panda III kuakui kurang "wah", dan mudah ditebak. Tapi secara keseluruhan cerita, alurnya mengalir dan enak ditonton, dikemas sedemikian rupa sehingga tidak membosankan. Alhasil tidak terbuang cuma-cuma lah waktuku selama kurang lebih satu jam setengah kugunakan untuk menonton film ini. Misiku tercapai: Bisa menikmati tontonan dan pikiran kembali fresh. Dan bahkan sesuatu hal yang kutakuti pun ikut terenggut: Ketagihan nonton film lagi.

Ada satu hal kusukai dari film ini. Yaitu pesan agar kita jadi diri sendiri. Meskipun pesan itu sederhana, pasaran, dan hampir setiap orang sudah pernah mendengarnya. Tapi seberapa banyak orang yang sudah dan (sadar) mempraktekkannya?

Acapkali orang tak sadar bahwa ketidaktahuan tujuan sebuah sistem membuat ia tak menjadi diri sendiri. Melainkan menjadi "diri sebuah pola" yang dipaksakan kepadanya. 

Sekolah memang baik. Lebih pasnya ada baiknya, tidak mutlak baik. Dan berapa banyak orang yang menganggap bahwa sekolah adalah sebuah sistem yang sempurna? Sehingga guru, orang tua, berusaha memaksakan murid menjadi pribadi yang sempurna dalam pola sekolah, bukan malah menjadikan murid sempurna dalam berkarakter?

Bahwa hiu tak bisa memanjat, singa tak bisa terbang, dan elang tak bisa merayap. Begitupun manusia. Punya kemampuan sendiri-sendiri, yang mana kalau berusaha menekuni kemampuannya, meski itu tiada di formalitas (sekolah), maka sungguhlah, InsyaAllah, ianya akan jadi manusia yang bisa memanusiakan manusia. Manusia yang bisa bermanfaat bagi manusia lainnya. Tiada lagi orang bodoh. Yang ada hanya saling melengkapi antar sesama.

Tapi disekolah, polanya mengajarkan kita untuk menguasai semua hal. Padahal itu nyaris mustahil. Menurutku, "Cukuplah kuasai satu, dan mengetahui banyak hal. Tak usah tahu dan menguasai banyak hal. Kalaupun iya ada orang jenius yang bisa, tapi apakah ia punya waktu untuk merealisasikan kemampuannya?

Hidup adalah hidup. Tentang bahagia dengan kelebihan yang diberaikan Tuhan kepada kita. Bukan (dipaksa) bahagia  dengan sebuah pola yang dbuat manusia sendiri.